Rektor dan Tanggungjawab Kemanusiaan

BERBAGI-PENGALAMAN-ANGKER-DI-UNIVERSITAS-JOGJA-UGM-UNY-UKDW-UII-UAD-DAN-UIN-1024x683

Sayangnya, UGM yang mendaku sedang menuju World Class University demokrasinya tidak lebih maju dari zaman Orde Baru. Sekelas pemilihan rektor yang memegang tampuk kekuasaan tertinggi universitas, tidak semua civitas akademika dilibatkan dalam pemilihan. Bahkan boleh kita sebut, tidak lebih dari 0.1% dari jumlah total mahasiswa, tenaga pendidik, dan dosen di seluruh Gadjah Mada yang bisa memilih.

Terhitung hanya 19 orang yang memiliki hak privilege yang tergabung dalam keanggotaan Majelis Wali Amanat (MWA), yang dapat menentukan siapa yang berhak dan layak mengisi kursi orang nomor satu di Gadjah Mada ini. Walaupun sempat berkilah ada 114 Senat Akademik tiap fakultas yang memiliki hak suara, keputusan akhir tetap pada mereka yang kita sebut sebagai EM-WE-A.

Secara sadar, rentetan tulisan tentang pemilrek UGM tahun ini menjadi bagian dari ikhtiar Dema Fisipol untuk menarasikan kembali, bagaimana moralitas Gadjah Mada akan dibawa oleh penguasa yang baru. Apakah masih ada keberpihakan Gadjah Mada kepada masyarakat atas produksi keilmuan yang diciptakannya? Dan apakah sumbangsih UGM terhadap dunia pendidikan tinggi saat ini sudah baik-baik saja dalam melawan kapitalisasi dunia pendidikan? Atau jangan-jangan, UGM memang sudah terlena dan mabuk dalam perputaran kapital yang begitu menggiurkan? Tak ada lagi yang namanya moralitas, keberpihakan pada rakyat, atau apapun yang menguntungkan kaum kecil-menengah. UGM adalah ladang menggiurkan bagi siapa saja yang ingin menanamkan modalnnya disini.

Hingga pada titik ini, bukan lagi simbol PTN-BH yang menjadi permasalahan utama, tetapi soal ke-ber-pi-ha-kan. Bagaimana keberpihakan rektor UGM yang baru nanti adalah yang patut untuk kita kawal dan pertanyakan. Adalah tugas universitas untuk memulihkan akal sehat ketika tak ada yang mau berfikir jernih. Adalah tugas universitas untuk menyuarakan kemanusiaan ketika tak ada lagi yang mau mendengar nurani masing-masing. Adalah tugas kita yang dimaksud dari tugas universitas tersebut, ketika universitas sebagai institusi formal sudah benar-benar menutup mata dan telinga dari realitas yang mereka ciptakan sendiri.

 

UGM dan Eksperimen Melawan Sejarah

UGM lahir dari peluh-keringat perjuangan rakyat Indonesia menghadapi agresi militer Belanda. Ia menjadi universitas pertama yang didirikan pemerintah Indonesia untuk melawan produksi pengetahuan barat, sekaligus meneguhkan eksistensi tegaknya Negara Indonesia. UGM menjadi bagian yang sangat dekat dengan rakyat, bahkan terlekat secara pribadi bagi civitas akademika di dalamnya. Perjuangan Gadjah Mada adalah perjuangan rakyat Indonesia.

Tidak sedikit dari rektor-rektor dan pendiri UGM melepas titel rektor dan kehormatan yang dimilikinya untuk membantu perjuangan bangsa ketika turun ke jalan. Sebut saja rektor UGM yang pertama –yang namanya menjadi salah satu RSUP DIY– Prof. Dr. Sardjito. Ia adalah dokter sekaligus relawan kesehatan dalam berjuang menghadapi agresi militer Belanda. Beliau inilah yang mengupayakan ketersediaan obat dan vitamin bagi para prajurit yang sedang berperang. Beliau pula yang berjasa besar dalam pembangunan posko-posko kesehatan untuk tentara Indonesia.

Selain itu, sosok seperti Prof. Dr. Ir. Herman Johannes yang merupakan rektor UGM ke-dua menjadi peran sentral dalam pengembangan pusat pembuatan senjata, perakitan bahan peledak, dan bahan-bahan mematikan lain untuk digunakan prajurit Indonesia dalam mengusir militer Belanda. Prof Herman Johannes sukses menjadikan Jogja sebagai laboraturium persenjataan, menggantikan Jakarta yang sedang diokupasi tentara Belanda. Beliau adalah salah satu ilmuwan sekaligus gerilyawan yang berani mati bersama rakyatnya.

Di era Orde Baru tidak kalah heroiknya, Prof. Dr. H. Koesnadi Hardjasoemantri, rektor UGM ke-8 ini, banyak sekali menorehkan tinta emas bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kedekatan rakyat di dalamnya. Prof Koes –begitu sapaan hangat beliau– adalah contoh dari rektor yang berhasil menerapkan ilmu pendidikan, untuk di amalkan dan diimplementasikan di universitas dengan tidak memarginalkan rakyat atau lingkungan di sekitar kampus. Prof Koes membuka pintu rumahnya untuk menerima aduan dan keluhan dari siapa saja, baik mahasiswa, tenaga pendidik, pedagang, atau siapapun yang ingin menyampaikan aspirasi kepada dirinya sebagai rektor. Sebuah hal yang sangat tabu pada zaman itu.

Selain itu, Prof Koes juga menyediakan tempat khusus bagi pedagang yang biasanya berjualan di sekitar UGM, untuk diberikan tempat yang layak dan strategis di lingkungan Fakultas Sosial-Humaniora, “memasukan” pedagang pasar minggu ke area Bulak-Sumur –yang sekarang disebut Sunmor, dan membuka area UGM sebagai jalan umum yang bisa dilalui siapa saja. Beliau jugalah yang sebelum menjadi rektor mencetuskan konsep dasar Kuliah Kerja Nyata bagi mahasiswa untuk terjun langsung ke masyarakat, terutama masyarakat di luar pulau Jawa untuk memahami pola kehidupan mereka disana dengan lebih detail.

Lalu, bagaimanakah dengan rektor UGM hari ini?

Perkembangan UGM pasca reformasi tidak bisa dikatakan sudah berjalan dengan baik. Walau secara fisik UGM mendapatkan gelontoran dana dari berbagai penjuru guna mempercantik dirinya, hingga dapat berlangganan jurnal internasional, serta peningkatan fasilitas kampus, namun ada yang berubah dari karakter kampus kerakyatan ini.

UGM sebagai kampus penyandang gelar kerakyatan terlihat mulai menutup diri dengan melakukan portalisasi jalur masuk kampus, memberlakukan uang kuliah yang tak lagi murah, merelokasi pedagang-pedagang yang berjualan di area kampus “ke luar” area kampus –seperti kasus kantin Bonbin, “menjauhkan” pedagang Sunmor hingga ke zona lingkar timur UGM, menunda pembayaran tunjangan kinerja tenaga pendidik non dosen, hingga perselingkuhan dengan perusahan-perusahan besar yang mengakibatkan pereduksian terhadap nilai kesederhanaan yang ditawarkan dari kerakyatan itu sendiri.

Selain itu, UGM juga terlibat dan harus bertanggungjawab terhadap produksi ilmu pengetahuan yang menjadikan statuta bagi pembangunan pabrik semen di Rembang dan perestorasian Gumuk Pasir di Parangkusumo yang berimplikasi pada tergusurnya petani dan warga dari tempat tinggal mereka.

Rektor, sebagai pemegang tampuk kekuasan seharusnya perhatian terhadap fenomena ini. Dialah yang memiliki otoritas penuh terhadap pemberlakuan kebijakan yang ada di kampus. Jika hal ini dibiarkan terus berlanjut, jangan-jangan UGM sedang melawan sejarahnya sendiri. Berusaha mengerdilkan makna rakyat, berpihak pada permainan korporasi cantik.

 

Penutup: UGM, Saatnya Berbenah!

Seperti yang penulis sebutkan di awal, bahwa tulisan ini bukan berfokus pada simbol PTN-BH yang melekat pada diri UGM saat ini. PTN-BH adalah sistem atau regulasi yang diberlakukan pemerintah untuk universitas tertentu, agar dalam melakukan pembiayaan kampusnya tidak hanya berpacu pada bantuan negara –artinya universitas berhak mengelola pendanaan dari mana saja dan berhak menerima bantuan swasta dari mana saja. Namun, yang penulis tekankan bukan pada pemberlakuan sistem dari pemerintah mengenai PTN-BH, tetapi bagaimana rasionalisasi Rektor dan universitas dalam hal ini menerima atau menolak pendanaan yang di dapat dari pihak swasta agar tidak memarginalkan masyarakat kelas sosial manapun. Yang penulis tekankan adalah bagaimana rektor sebagai pemegang tahta kekuasaan dapat berfikir matang dalam menerapkan kebijakan di kampus dan berpihak pada kepentingan masyarakat banyak –tidak berorientasi pada keuntungan profit semata.

Keberpihakan rektor terhadap pengamalan ilmu yang baik kepada rakyat pada akhirnya dapat menjadikan marwah kampus ini kembali pada jati dirinya, kembali pada jati diri sebagai kampus kerakyatan yang dekat dengan kesan sederhana yang sarat akan makna.

 

UGM, mari kita berbenah!

-ANA

pict: http://rikiyudha.web.ugm.ac.id/2016/04/28/prestasi-ugm/

Tinggalkan komentar