Hujan dan Pasar Bawang Merah

1432525997-foto_b_kobar_bw

-Airin

Dengan langkah ringan dan seulas senyuman kutinggalkan salah satu ruangan dalam Perpustakaan Pusat yang selalu menjadi tempat para mahasiswa Sosial dan Politik membuka wawasannya – dan menyelesaikan tugas-tugasnya, tentu saja –. Langkahku lantas terhenti saat melihat lebatnya hujan di luar sana lewat jendela besar perpustakaan ini. Terima kasih pada earphone beserta playlist favoritku yang membuatku bahkan tak sadar akan kehadirannya hujan siang ini.

Aku mendudukkan diriku tepat di sebuah bench panjang dalam perpustakaan yang menghadap langsung ke arah jendela-jendela besar yang menyuguhkanku dinamika sang hujan. Sedikit bosan dengan aktivitas memandangi hujan, Aku mulai memasang earphone dan berniat untuk mengaktifkan kembali playlist favoritku. Baru saja aku hendak menekan tombol play, seseorang memanggil namaku penuh keraguan.

“Rin?”

Kutolehkan kepalaku ke sumber suara dan tersenyum kemudian. “Oh, Adrio!”. Sang pemilik suara – Adrio – menghampiriku dan berinisiatif untuk duduk tepat di sebelahku. Kuurungkan niatku untuk mendengarkan playlist favoritku dan melepas earphone yang telah terpasang manis di kedua telingaku.

“Apa yang kamu lakukan disini, Rin?”. Pertanyaan yang baru saja Adrio lontarkan sontak membuat dahiku mengernyit. “Tentu saja habis meminjam beberapa buku seperti biasanya – dan, oh, ayolah. Seharusnya Aku yang bertanya begitu padamu!”

Adrio mengangguk-anggukkan kepalanya dalam diam.  Ia lantas menaruh ransel – yang selalu terlihat penuh – miliknya tepat di space kosong antara kami berdua kemudian mulai menyamankan dirinya sejenak sebelum Ia menjawab pertanyaanku. “Mengapa demikian, Rin? Ini kan tempat umum. Siapapun bisa kemari.”

Jawaban Adrio serta merta membuatku mengayunkan buku yang semula berada di sampingku tepat di pundaknya. Tawa kecilku mengembang seiringan dengan rintihan kecil Adrio. “Maksudku, untuk ukuran anak teknik sepertimu yang berada di ujung Barat sana, bukankah terlalu merepotkan untuk kemari? Lagipula, fakultasmu memiliki fasilitas perpustakaannya sendiri, kan? Berbeda dengan diriku. Yeah, perpustakaan fakultasku masih belum rampung.”

Kali ini Adrio memilih untuk tidak menjawabku secara langsung. Dengan langkah cepat tangannya, Ia membuka ponsel miliknya dan menunjukkan sebuah gambar – atau dapat kupastikan itu merupakan poster berisi sayembara suatu kompetisi yang bertemakan “Teknologi Berdikari sebagai Kunci Ketahanan Pangan Indonesia”. Dahiku mengerut dan memberikan Adrio questioning-look yang sangat jelas. Adrio menghela napasnya. “Kamu membutuhkan jawaban atas pertanyaanmu tadi, kan? Ini jawabannya. Dua orang temanku mengajakku untuk ikut serta dan kami memutuskan untuk memilih Perpustakaan Pusat sebagai tempat pertama kami berdiskusi…”. Kebingungan yang kentara semakin menjadi-jadi hingga dengan cepat Aku memotong pemaparan Adrio. “Tapi kalian bisa melakukannya di Perpustakaan FT, kan?”. Adrio menggelengkan kepalanya. “Dengarkan Aku sampai selesai, Airin. Bagaimana Aku bisa melakukannya di FT saat kedua temanku berasal dari Fakultas Teknologi Pertanian dan Fakultas Pertanian, hm?”. Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku dan membentuk thumb sign dengan tangan kananku.

Tidak ada percakapan lebih lanjut di antara kami berdua. Entah apa yang tengah melanda pikiran Adrio maupun diriku. Hal ini bukan berarti Aku ataupun Adrio merasa canggung. Oh hei, bukankah teman yang sesungguhnya akan merasa nyaman dalam kondisi apapun? Kini Aku tengah membuat diriku senyaman mungkin dengan suhu ruangan yang mulai dingin karena dampak hujan di luar sana.

“Teknologi sebagai kunci ketahanan pangan ya…”. Tanpa kusadari kata-kata pemancing percakapan baru berasal dari dalam diriku sendiri. Adrio menganggukkan kepalanya mantap. “Pada awalnya Aku bahkan tak tahu informasi apapun mengenai kompetisi ini. Aku mendapatkan pesan singkat melalui LINE sekitar 2 hari lalu dari temanku, anak Fakultas Pertanian. Dan kupikir tak ada salahnya untuk mencoba hal baru yang bahkan tak pernah terpikir sebelumnya olehku, Rin.”

“Baru 2 hari lalu? Kalau begitu, apa yang kalian diskusikan tadi? Aku yakin kalian masih mendiskusikan kulit permasalahan dan apa yang akan kalian lakukan, no?”. Adrio menggaruk bagian belakang kepalanya dan menunjukkan cengiran khas miliknya. Seakan tahu apa yang akan Ia angkat sebagai jawabannya, Aku hanya menggelengkan kepalaku dan tertawa. “Ya begitulah, Rin. Kamu tahu persis Aku bagaimana, kan? Tadi kami – baiklah, Aku lebih banyak mendengarkan apa yang mereka rencanakan. Bagaimanapun, bagianku nanti adalah mengenai teknologi itu sendiri.”

Hujan sepertinya tidak terlalu bersahabat hari ini karena Ia bahkan turun lebih deras, tak menyisakan seorangpun yang menembusnya. Dengan kondisi ruangan yang semakin dingin, Aku membuka tasku dan mengeluarkan wafer cokelat kesukaanku. “Selain membahas itu, apalagi yang kalian bahas? Grand design pasti kalian bahas. Apa kalian tidak membahas persoalan ketahanan pangan Indonesia sama sekali?” tanyaku tepat sebelum memakan wafer pertamaku dan menawarkannya pada Adrio – yang kemudian Ia tolak, tentu saja. Adrio selalu menolak tawaran wafer pertamaku, kecuali saat Ia benar-benar merasa lapar.

Adrio mengulum senyumnya. “Tentu kami membahasnya. Itu penting sebagai rumusan masalah, bukan? Ya meskipun sebenarnya kami tadi terjerumus dalam pembicaraan melambungnya harga bawang merah dan import bawang merah yang tengah menjadi isu hangat pekan ini, Rin.”. Mataku mengerjap dengan cepat beberapa kali. “Terjerumus? Lucu juga bahasamu, Yo. Ya tapi kamu memang benar… berita impor bawang merah tengah menjadi viral setelah sebelumnya harga bawang yang melambung menghiasi barisan pertama setiap berita dan media.”

Seperti biasanya, Adrio akan menerima tawaran wafer cokelatku yang kedua kalinya. Ia kemudian mengangguk seraya menghabiskan jatah wafernya. “Yeap. Itu yang kami bicarakan tadi. Sebagai mahasiswa Fakultas Pertanian dan Teknologi Pertanian yang memang memiliki concern dalam bidang pertanian meng-iya-kan menurunnya pasokan bawang merah karena cuaca yang tidak bersahabat. Well, kamu tahu persis kan, beberapa daerah di Indonesia dilanda banjir. Dan celakanya adalah, mereka para petani bawang pun terkena imbasnya.”

“Mhm, kalian benar. Aku sempat melihat salah satu foto mengenai kerusakan parah ladang bawang merah milik salah satu petani karena banjir…” Adrio dengan cepat menganggukkan kepalanya kemudian meminum air mineral kemasan miliknya. “..Tapi kan kenapa harus impor sih solusinya.”

Adrio mengedikkan bahunya perlahan. “Mungkin itu cara tercepat yang dapat menutupi kekurangan pasokan bawang merah, Rin. Entahlah apa yang dipikirkan pemerintah saat itu. Tapi yang pasti, kedua temanku benar-benar against keputusan impor bawang merah itu.”. Aku merengut tak sabar. “Lalu kamu sendiri? Setuju, begitu?”

Bukan jawaban yang kudapat, namun justru tawa Adrio yang membuatku benar-benar ingin melemparnya dengan apapun. “Lihatlah wajahmu itu, Rin. Well, kupikir kamu tahu apa jawabanku. Tentu saja aku tetap against impor bawang merah. Katanya kita menyongsong ketahanan pangan, tapi kok ya iso impor bawang merah.”. Mataku mendelik atas kalimat pertama Adrio. “Indonesia maunya ketahanan pangan, bukan ketahanan rempah.”

Mata Adrio membelalak sempurna dan Ia mulai tertawa – lagi – dan lebih lama dari sebelumnya. Sepertinya Aku telah menyentuh titik humor terendah daripada Adrio. Mau tak mau Aku pun ikut tertawa – menertawakan diri sendiri – atas candaanku. “Baiklah, kamu memang lebih paham ya bagaimana mengkhususkan sang bawang merah pada kategori rempah.”. Dengan iringan tawa, Aku hanya mengedikkan bahu. “Namanya juga perempuan, Yo.”

“Baiklah, ayo mulai serius, Rin. Bagaimanapun impor yang dilakukan memang akan menutupi kekurangan pasokan dalam negeri, namun itu justru menimbulkan protes pada kalangan petani. Mereka merasa diri mereka tidak dilindungi oleh pemerintah. Petani merugi besar, kamu tahu.”. Aku menganggukkan kepalaku dengan mantap. “Uhm, kamu benar, Yo! Aku sempat melihat pada salah satu siaran live berita, ada beberapa petani yang mengeluhkan kebijakan impor bawang merah. Petani merasa kebijakan itu justru merugikan bagi petani. Well, mereka baru saja tertimpa bencana banjir yang menyebabkan gagal panen, kemudian pemerintah langsung mengambil keputusan untuk impor. Ouch, petani merasa terkhianati.”

Tawa Adrio kembali terdengar atas perkataan terakhirku yang diiringi dengan gerakan tangan yang menunjukkan hati yang patah. “Benar, Rin. Jika Aku berada dalam posisi para petani, rasanya pasti akan benar-benar kecewa dengan apa yang pemerintah lakukan. Tapi, hal lain terjadi apabila Aku sebagai pemerintah. Aku juga tidak mungkin membiarkan harga bawang merah melambung tinggi karena kurangnya pasokan dalam negeri. Dan hal yang terpikir olehku adalah bagaimana memenuhi kekurangan itu, ya dengan impor. Tapi sayang, pemerintah mungkin melupakan satu sisi dari dampak impor. Mungkin, pasokan bawang merah akan kembali stabil. Tapi produsen dan pemasok utama dalam negeri, yaitu petani belum jelas pula nasibnya. Jika Aku menjadi salah satu stakeholder-nya, Aku akan memilih untuk memberikan kompensasi pada petani atas terjadinya impor bawang merah. At least, petani tidak akan merugi karena meski mereka gagal panen, mereka tetap mendapatkan kompensasi materiil dari pemerintah.”

Aku hanya mengangguk-anggukkan kepalaku seraya memeriksa isi tasku dan mengambil selembar kertas serta bolpoin dengan sigap. “Adrio, mau kutunjukkan sesuatu yang mungkin akan membosankan karena kamu tidak terlalu menyukainya?”. Adrio menautkan kedua alisnya dan mengernyitkan dahinya. “Apa maksudmu, Rin? But well, I won’t mind at all.”. Aku hanya terkekeh dan memelankan suaraku. “Aku akan memberitahumu pemikiran anehku mengenai ‘case’ kenaikan harga dan impor bawang merah melalui berbagai asumsi, Yo.”. Adrio menaikkan alis sebelah kirinya dan menatapku serta selembar kertas kosong yang kini berada dalam genggamanku bergantian.
“Asumsi?”. Aku dengan mudah dapat mengenali tone suara Adrio yang tengah meragu. Namun Ia hanya diam dan menganggukkan kepalanya singkat – mempersilakan diriku untuk melakukan apa yang Aku rencanakan sebelumnya.

“Asumsi pertama adalah, cuaca saat menjelang musim panen bawang merah memburuk. Hal ini terang saja membuat para petani mendadak gugup dengan hasil panennya. Dan ternyata dugaan terburuk mereka benar, banyak di antara mereka yang kemudian mengalami gagal panen. Bukan begitu, Pak Adrio?”. Aku memaparkan asumsi pertamaku sembari membuat beberapa balloon pada kertas yang telah kusiapkan sebelumnya. Adrio hanya mengangguk dan tertawa dalam diam, sepertinya Ia menertawakan tone suaraku yang mendadak seperti seorang detektif yang tegah menyelidiki kasus pembunuhan, mungkin?

“Asumsi kedua adalah, gagal panen yang dialami sebagian petani bawang merah menyebabkan adanya penurunan pasokan bawang merah sementara kita, para konsumen bawang merah tetap memiliki kebutuhan akan bawang merah. Ah, Aku lebih suka membahasakannya lebih keren. Gagal panen menyebabkan penurunan pada sisi supply dari pasar bawang merah, sedangkan demand pada bawang merah tetap, ceteris paribus – faktor lain tetap saat satu faktor berubah, hehe.” Aku kembali menggambarkan balloon baru yang menggambarkan asumsi kedua. Sekilas aku dapat melihat perubahan air muka Adrio dari sudut mataku.

Adrio menghela napasnya keras kemudian membenahi posisi duduknya untuk memperoleh posisi yang lebih nyaman. “Jadi ini yang kamu maksud dengan peringatanmu sebelumnya? Bahwa apa yang akan kamu paparkan padaku tidak akan kusukai, hm?”. Aku tertawa sekilas dan mengangguk. “Aku tidak tahu apa kamu akan menyukai sesi ini atau tidak. Tapi ini menyenangkan, sungguh!”. Adrio melempar senyum tipisnya dan mengangguk. “Lanjutkan. Aku akan mendengarkanmu.”

“Asumsi ketiga adalah, saat pasokan bawang merah menurun dan konsumsi bawang merah tetap di sisi yang berlainan, pasti akan terjadi peningkatan harga. Bagaimanapun petani juga enggan untuk merugi, bukan? Kenaikan harga memang benar terjadi dan kemudian kejutan yang kemudian hadir adalah spreading news naiknya harga bawang merah menjadi wajah utama para media saat itu. Seakan tidak ada waktu tanpa menyelipkan berita kenaikan bawang merah dalam list berita hangat mereka. Begitu, kan?” tanyaku pada Adrio yang kini tengah memasang pose andalannya saat berpikir. Tentu saja tapping his own chin. “Ya, Aku sependapat dan itu memang benar adanya. Lalu, apa kamu tidak berkeinginan untuk membahasakan asumsi ketiga ini dengan lebih keren, Rin?”. Adrio seolah tengah mengusiliku dengan pertanyaan terakhirnya.

Aku hanya memutar bola mataku dan mengedikkan bahu perlahan. “Aku belum melakukannya. Saat sisi supply menurun, maka akan terjadi pergeseran pada kurva supply dan menjauhkannya dari titik keseimbangan yang sebelumnya. Hal ini sungguh lumrah terjadi. Mudahnya adalah, saat supply turun dan demand tetap, tentu saja harga akan mengalami perubahan menjadi lebih tinggi dari sebelumnya. Itu hal yang sangat wajar terjadi dalam pasar..” Adrio mengerutkan dahinya dan memotong penjelasanku dengan segera. “Rin, jangan bilang kamu….”. Aku menghela napasku dan mengetuk kepalanya dengan bolpoinku sembari menggelengkan kepalaku. “Tsk. Dengarkan Aku dulu, Yo.”

“Sekarang kamu pikirkan saja begini. Andai kamu adalah petani yang mengalami gagal panen. Otomatis pemasokanmu berkurang, kan? Dan tentu, kamu tidak ingin merugi terlalu jauh. Yang kamu lakukan adalah menjualnya dengan harga yang lebih tinggi dari sebelumnya pada pasar tradisional maupun distributor besar, kan?” Adrio terlihat mendengarkanku dengan seksama. “Hal ini tentu saja berdampak pada penjual. Mereka juga tidak ingin merugi dan akhirnya menaikkan harga jual bawang merah. Apalagi dengan jumlah yang sedikit. Itu lumrah terjadi.”

Adrio menggelengkan kepalanya tegas. “Tidak, Rin. Harga itu melambung tinggi. Mekanisme pasar yang demikian justru menaikkan harga terlalu tinggi.”. Aku tersenyum kecut kemudian memakan wafer terakhirku. “Apa kamu tahu yang membuat harga itu melambung terlalu tinggi sebenarnya, Yo? Itu karena pada nyatanya, konsumsi bawang merah justru meningkat dan kemudian bawang merah menjadi incaran utama. Atau dalam kata lain, demand tidaklah ceteris paribus.

“Lalu? Bagaimana kamu akan menjelaskan ini, Rin?” Adrio terlihat tetap tenang meskipun Aku tahu bahwa Ia tengah mengujiku dengan sengit. “Apa kamu tahu mengapa permintaan bawang merah mengalami peningkatan yang cukup drastis pula?”. Adrio mengangguk pasti. “Tentu. Pasokan bawang merah menurun disertai kenyataan yang mereka ketahui kalau terjadi kegagalan panen. Mereka pasti ingin membeli bawang merah secepatnya sebelum harga meningkat lebih jauh.”

Aku tersenyum penuh arti. “Ekspektasi. Apa aku salah, Yo?”. Adrio menggelengkan kepalanya. “Media yang secara massive memberitakan kegagalan panen bawang merah karena cuaca buruk menyebabkan orang-orang berpikir bahwa harga bawang merah pasti naik. Pasti naik. Bahkan mereka sudah dapat memahaminya tanpa perlu mempelajari teori ekonomi mikro secara mendalam.”. Belum selesai penjelasanku, Adrio kembali tertawa. Aku hanya tertawa sekilas untuk mencairkan suasana antara kami berdua. “Saat mereka memiliki keyakinan bahwa harga bawang merah pasti naik, apa yang akan mereka lakukan? Tentu mereka akan secepatnya membeli bawang merah yang tersedia. Ekspektasi mereka membuat konsumsi mereka pada bawang merah mendadak meningkat. Atau, ekspektasi mempengaruhi pada sisi demand. Hal inilah yang sesungguhnya membuat harga bawang merah yang sebelumnya masih stabil, atau berada pada titik harga yang tidak terlampau jauh dari titik keseimbangan justru melejit jauh. Supply yang terbatas dan demand yang melambung karena ekspektasi. Dan, ekspektasi disini sangat dipengaruhi oleh massive-nya cara pemberitaan media.”

Adrio tertegun seraya mengetuk jarinya pada air mineral kemasannya berulang kali. “Cuaca buruk. Petani bawang merah sebagian gagal panen. Media memberitakan bahwa terjadi gagal panen. Harga bawang merah masih dalam taraf wajar. Warga memperkirakan akan kenaikan harga bawang merah. Warga berbondong-bondong membeli bawang merah sebelum harganya meningkat dramatis. Pasokan bawang merah berkurang dan menjadi sangat sedikit. Harga bawang merah pun melejit. Ditambah kenyataan bahwa memang pasokan bawang merah dari petani yang jumlahnya sedikit.” Adrio menuliskan kesimpulan dari tiga asumsiku sebelumnya menggunakan bolpoin dan kertas yang sebelumnya Ia gunakan untuk mencatat hasil praktikum – kurasa – yang baru saja Ia keluarkan dari ranselnya.

Aku menaikkan kedua jempolku, menunjukkan padanya bahwa Ia sangat hebat dan cepat dalam memahami hal ini. Cengiran khas milik Adrio kembali muncul ke permukaan. “Memusingkan memang, tapi setidaknya Aku dapat menangkap intisari pembicaraanmu.”. Aku mengangguk, “Ya, dan kamu melewatkan bagian-bagian keren dalam ceritaku.”. Adrio hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya dua kali. “Aku bahkan tidak dapat memahaminya dengan baik, Rin. Yang kuingat hanya supply dan demand… lalu apa yang kamu katakan? Ce.. ribu? Teras ribu?”. Aku membelalakkan mataku tak percaya kemudian tertawa lepas – untunglah derasnya hujan dapat meredam suara tawaku –. “Ceteris paribus, oi!”. Adrio hanya mengedikkan bahunya dan tertawa.

“Ceritaku belum usai, Yo. Sekarang ayo kita lihat sisi pemerintah. Well, seperti yang kamu katakan tadi, kalau kamu menjadi pemerintah, mungkin cara impor merupakan jalan ‘terbaik’ dan ‘tercepat’ dalam mengatasi pasokan bawang merah yang kurang. Tapi apa kamu tahu? Ternyata ‘ekspektasi’ yang kita bicarakan sebelumnya bukan hanya berpengaruh pada konsumen, namun juga pada pemerintah kita!”. Adrio mengangguk ragu, “Maksudnya? Apa pemerintah yang mengetahui berita akan gagal panen itu juga memiliki ekspektasi akan naiknya harga? Atau?”

“Pemerintah memiliki ekspektasi bahwa pasti pasokan bawang merah akan berkurang di pasaran. Belum lagi pemerintah kita tahu persis bahwa masyarakat pasti akan terkejut dengan kenaikan harga bawang merah dan berbondong-bondong untuk mencari bawang merah. Namun saat ada di pasaran, stok bawang merah memang tidak terpenuhi sebanding dengan tingginya permintaan bawang merah. Pemerintah memiliki berbagai opsi, namun mungkin, impor merupakan opsi yang closely akan memperbaiki keadaan harga bawang merah di pasaran dan memenuhi persediaan dalam negeri. Setidaknya begitu, kan?”

Adrio kini memfokuskan pandangannya ke arah jendela besar di depannya dan mengangguk samar. “Lalu? Aku masih belum dapat menangkap maksudmu, Rin.”. Aku terkikik geli. “Yang baru saja Aku katakan adalah, pemerintah termakan oleh media dan asumsi. Media berhasil menyulap pemikiran masyarakat sekaligus produsen dan penjual, bahkan pemerintah. Semua orang bereaksi sangat sensitif terhadap kenaikan bawang merah. AH!”. Adrio menolehkan kepalanya dengan cepat ke arahku dan menatapku dengan penuh tanya. Aku meringis kemudian membentuk V sign. “Aku baru saja menemukan asumsi baru dari pernyataanku sebelumnya. Karena itu aku sedikit berteriak tadi. Maaf membuatmu terkejut, hehe.”

Adrio menggelengkan kepalanya heran kemudian tertawa kecil. “Kamu benar juga. Keadaan itu yang justru dapat menjerumuskan berbagai pihak. Jika begitu apa yang baik dilakukan? Melarang media untuk memberitakannya? Oh ayolah, Rin. Ini era dimana media sudah dapat terbebas dari belenggu masa lalu yang kelam.”

Ish, siapa juga yang menyuruh media untuk diam, Yo? Itu memang menjadi kehidupan mereka dan sudah sangat lumrah. Justru yang perlu kita soroti adalah pihak-pihak yang termakan pengaruh media terlalu luas. Yang menyebabkan mereka terjerembap dalam asumsi dan ekspektasi.”. Aku memulai rutinitas awalku, yakni menggambar beberapa balloon yang menjadi peranti bantuan. “Konsumen atau disini adalah masyarakat telah memahami bahwa apabila pasokan menurun, maka harga akan naik. Mereka mengetahui dengan benar namun tidak dapat dengan sigap menyikapinya.”

“Tapi Rin, bagaimana cara mereka menyikapinya? Kamu bilang sebelumnya kalau konsumsi mereka pada bawang merah itu tetap, tidak dapat dikurangi begitu saja dalam jumlah yang besar. Mereka juga tidak memiliki kekuatan apa-apa untuk mengubah harga bawang merah, kan?”. Pertanyaan Adrio membuatku tersenyum untuk kesekian kalinya. “Aku tidak menyuruh mereka untuk secara tiba-tiba mengurangi konsumsi mereka, Yo. Yang kutekankan adalah sikap mereka terhadap gagal panen yang terjadi. Mereka harus paham bahwa itu adalah lumrah apabila terjadi kenaikan harga. Juga, mereka tidak seharusnya menjadi sangat hyper hingga menaikkan permintaan mereka pada bawang merah.”

Adrio kembali menggelengkan kepalanya. “Tidak, Rin. Kamu lihat kan seberapa ‘ekstra’nya reaksi mereka terhadap kenaikan bawang merah? Itu berarti mereka benar-benar akan kesulitan apabila bawang merah meningkat tajam harganya. Mereka paham itu lumrah, tapi mereka tak akan sanggup dengan hal itu.”

“Yo, Aku tak tahu apa kamu akan memahami ini tapi – begini. Seperti yang kamu katakan, reaksi masyarakat terhadap kenaikan harga bawang merah dapat dibilang tinggi. Masyarakat menjadi sensitif terhadap peningkatan harga bawang merah. Itu berarti satu hal. Bahwa permintaan bawang merah bersifat relatif elastis. Sedangkan pasokan bawang merah dalam negeri yang tidak dapat ditambah atau dikurangi dalam waktu dekat berarti memiliki sisi supply yang inelastis. Elastis disini bukan hanya berarti sensitivitas dari para pelaku ekonomi, namun, dalam sisi demand, hal ini berarti menunjukkan seberapa tinggi kemungkinan barang itu untuk disubstitusi. Saat barang itu memiliki permintaan yang elastis, maka ia akan semakin mudah untuk disubstitusi.”

Adrio terlihat jengah dengan penjelasanku. Sudut matanya terlihat berkedut. “Rin, apa kamu berencana untuk memberikanku kuliah umum ilmu ekonomi?”. Aku hanya tertawa dan menggelengkan kepalaku. “Kamu bilang kalau kamu akan mendengarkanku, Yo.”. Adrio menghela napasnya untuk entah ke-berapa kalinya kemudian mengangguk.

“Mudahnya, kalau masyarakat cenderung sensitif dengan perubahan harga, berarti bawang merah itu elastis permintaannya! Kalau elastis, berarti dia gampang buat disubstitusi sama barang lain dong, Yo!”. Adrio hanya ber-oh-ria. “Kamu bisa mengatakannya sejak awal dan tidak membuatku confused, Rin.” Aku menggelengkan kepalaku dan terkekeh. “Akan lebih menyenangkan kalau kita mendengarkan hal yang rumit terlebih dahulu. Yeah, setidaknya begitu bagiku.”

“Substitusi? Kalau begitu, masyarakat perlu mengganti bawang merah dengan barang lain?”. Aku hanya mengangguk ringan. “Jika kita ingin menerapkan teori elastisitas dengan sebaik-baiknya, tentu saja jawabannya adalah iya, Yo. Bawang Bombay, daun bawang, dan merica dapat menjadi – atau setidaknya mendekati – perfect substitute dari bawang merah. Harga mereka di pasaran pun tergolong stabil.”

“Rin, tidak mudah bagi masyarakat untuk mengubahnya, ingat itu.”. Aku mengangguk malas. “Itu dia anomali dari asumsi elastisitas yang terjadi, Yo. Normalnya, apabila sensitivitas mereka rendah terhadap perubahan harga, ya itu artinya barang itu memang tidak mudah untuk digantikan, dan sebaliknya, uh, vice versa. Tetapi yang kita alami justru sebaliknya. Masyarakat menunjukkan sensitivitas yang cukup tinggi, padahal bawang merah itu sendiri ternyata tidak dapat digantikan dengan mudah. Ah, itu sebenarnya karena masyarakat terbiasa menggunakan bawang merah. Simply. Mereka dapat mensubstitusi bawang merah dengan barang lain dengan mudah apabila pemikiran mereka tidak terpaku pada kebiasaan.”

Dahiku mengerut seketika ketika petir dengan tidak sabar menyambar dan membuat jantungku hampir lompat dari tempatnya. Adrio tidak bergeming namun kemudian dahinya ikut berkerut. “Itulah mengapa pemerintah mengambil langkah seribu untuk mengimpor bawang merah, Rin.”

“Kamu bahkan belum mendengarkan pembelaanku yang selanjutnya, Yo.” Adrio membulatkan matanya. “Ha –? Masih ada pembicaraan selanjutnya?”. Aku hanya mengangguk dan menunjukkan senyuman lebarku.

“Dengarkan Aku sampai selesai, Yo, hehe. Apabila kita menilik dari sisi pemerintah, maka bukankah akan lebih baik apabila pemerintah membiarkan keadaan yang ada. I mean, pemerintah membiarkan mekanisme invisible hand bekerja…”. Adrio berdehem seraya memotong ucapanku. “Rin, are you kidding me? Invisible hand bahkan tidak ada dalam dunia nyata. Dan semua orang tahu itu.”

Aku mendelik tidak percaya. “Come on, Yo. Aku bahkan belum menuntaskannya. Aku tahu sepenuhnya bahwa invisible hand di dunia ini tidaklah bekerja. Tetap ada market failure yang kemudian membutuhkan campur tangan pihak di luar pasar. Begini, pemerintah yang membiarkan market fixing their own problem disini bukan berarti Ia benar-benar membiarkannya. Pemerintah selayaknya memberikan incentives bagi petani dan membuka peluang bagi siapapun yang hendak memproduksi bawang merah. Insentif yang kumaksud disini adalah subsidi. Tentu saja subsidi bagi produsen, karena sisi yang lebih inelastis lah yang akan dikenakan subsidi (ataupun pajak). Dan seperti yang kita diskusikan sebelumnya mengenai substitusi. Pemerintah juga hendaknya mengadvokasi masyarakatnya untuk mensubstitusi dan mencoba memanfaatkan media dengan campaign substitusi bawang merah. Sehingga lambat laun, tanpa perlu adanya impor pun, permintaan akan bawang merah akan menurun dan pada akhirnya permintaan serta supply dari bawang merah akan sampai pada titik keseimbangannya yang baru.”

Suasana yang terlalu hening membuatku menolehkan kepalaku ke arah Adrio yang ternyata tengah menganggukkan kepalanya dan kemudian tersenyum. Secara reflex Aku menertawakan reaksinya. “Pasar permintaan bawang merah akan mulai stabil dan pada saat yang bersamaan, petani serta petani baru yang mungkin bermunculan karena adanya insentif dari pemerintah yang tengah kembali menanam bawang merah  akan membuat supply atau pasokan dari bawang merah dalam negeri meningkat kembali dalam jangka panjang. Inilah yang kemudian Aku sebut sebagai kolaborasi dua konsep yang berada di kutub berbeda.”

Aku tertawa sejenak atas penamaan aneh pada kalimat terakhirku. “Negara itu sebagai pencipta suatu kelas manajerial yang baru, dimana negara mengubah pekerja-pekerja informal, dalam hal ini adalah petani, menjadi manajer-manajer kecil atas lahan mereka. Itu adalah konsep dari arah fakultasku. Sedangkan pemerintah yang ‘membiarkan’ supply dan demand dari bawang merah bergerak sesuai dengan aktivitasnya merupakan konsep dari arah fakultasmu, Yo.”

Tawa Adrio pecah seketika saat Ia memahami apa yang Aku maksud sebelumnya, mengenai ‘konsep yang berada di kutub berbeda’. “Jadi, pemerintah tidak perlu melakukan impor, hm? Apa pemerintah tidak akan berpikir bahwa insentif yang mereka berikan pada petani itu tidaklah produktif?”

Aku menggigit bagian dalam bibirku perlahan. “Aku tahu pasti aka nada yang mempertanyakan hal seperti itu, huh. Itu adalah trade-off, Yo. Dimana kamu dihadapkan pada berbagai pilihan. Well, dalam jangka pendek insentif itu terkesan tidak produktif dan efisien. Apalagi dengan mekanisme yang terkesan rumit dalam mengubah mindset masyarakat agar mau mensubstitusi, maka pemerintah memangkasnya dengan cara impor. Yeap, impor akan berdampak positif dalam menstabilkan keadaan pasar bawang merah dalam short run atau jangka pendek. Tapi bagaimana dengan keadaan long run-nya? Itu justru akan mencelakakan negara sendiri, Yo.”

“Ah ya, kamu benar. Dalam jangka pendek akan terkesan tidak produktif insentif yang diberikan. Namun justru itu memberikan vibe yang positif di kemudian hari. Berbeda dengan keputusan impor. Seperti apa Aku harus menyebutnya? Vice versa?”. Adrio terkekeh saat Ia berhasil menggunakan kosa kata yang seolah baru Ia kenal. Aku ikut larut dalam hal kecil yang kemudian menjadi bahan tertawaan kami.

Adrio menengadahkan kepalanya dan berdiri tegak setelahnya. Ia merapikan dirinya seraya menggunakan ranselnya kembali. “Sudah reda, ayo kuantar pulang, Rin.”. Mataku menyipit memperhatikan jendela besar di depanku. Adrio benar, hujan ternyata telah usai. Mungkin tepat setelah kami menyelesaikan pembicaraan aneh kami, atau bahkan jauh sebelumnya? Entahlah, Aku pun tidak dapat memastikannya dengan baik. “Tapi Yo, Aku lapar dan ingin minuman hangat!”. Adrio tetap berjalan di depanku tanpa menjawab apapun. Aku yang tengah bersungut dalam hati pun dikejutkan dengan langkah Adrio yang tiba-tiba terhenti. Masih bertahan dengan posisinya, Ia hanya bergumam. “Aku memang akan membawamu makan terlebih dahulu.”

Tinggalkan komentar