State, Private Sector, (vs.) Self Governing Community: Between Choices and Paradox

Farid Albatani, dari Walhi Nasional, saat prosess adat potong patan. Foto: walhi Kalteng

(cr. http://www.mongabay.co.id/2015/05/15/kala-masyarakat-dayak-tomun-deklarasikan-peta-wilayah-adat/)

By 15/384281/SP/26993

Keberagaman Indonesia bukan lagi hal yang patut dipertanyakan maupun dipersoalkan. Tidak hanya keberagaman dalam perihal suku, budaya, agama, maupun ras, namun Indonesia pun memiliki kekayaan lain berupa corak pemerintahan yang beragam secara alamiah. Sebelum adanya conformity dalam hal pemerintah desa, setiap daerah memiliki mekanisme serta manajemen pemerintahannya. Perbedaan corak pemerintahan most likely didapati pada unit yang lebih kecil daripada Daerah Tingkat II – seperti kecamatan maupun desa. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai pemerintahan komunitas atau secara umum lebih akrab disebut desa adat.

Indonesia yang menyadari akan keberagamannya memiliki peraturan tersendiri perihal pengaturan pemerintah komunitas – dalam hal ini desa adat – dalam Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Desa Adat diatur dengan Ketentuan Khusus dalam Bab XIII Pasal 103 sampai Pasal 110 yang pada intinya mengatur kewenangan Desa Adat beserta hal lain yang bersangkutan. Pemerintahan komunitas pada umumnya memiliki beberapa elemen penyusunnya yang termaktub dalam Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang tentang Desa Pasal 35, yakni adanya sistem organisasi masyarakat adat yang tertata; pranata hukum adat; pengelolaan tanah kas desa adat; pengelolaan tanah ulayat; kesepakatan dalam kehidupan masyarakat adat – yang biasanya meliputi kebiasaan serta hal-hal yang berkaitan dengan pihak eksternal –.

Pada umumnya, pemerintahan komunitas memiliki ciri-ciri yang mengkhususkan serta menjadi pembeda daripada daerah atau wilayah lainnya. Selaras dengan namanya, pemerintahan komunitas terikat oleh value atau norma dari community yang bersifat turun-temurun, interaksi dalam pemerintahan komunitas sangatlah intim yang menimbulkan ikatan serta kedekatan, yang kemudian akan menimbulkan kerjasama serta hubungan timbal balik dalam pemenuhan kebutuhan masing-masing melalui pengelolaan wilayahnya dengan cara mereka tersendiri.

Hubungan masyarakat adat yang terdapat pada pemerintahan komunitas dengan tanah ataupun wilayah yang kemudian disebut sebagai tanah ulayat sangatlah erat. Hubungan masyarakat adat dengan tanah yang sangat erat ini diartikan sebagai hubungan yang serba berpasangan (particeperend denken) (Fuad, 2016). Indonesia telah lebih lanjut mengatur mekanisme pengelolaan tanah melalui Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang dalam beberapa pasalnya pun mengakomodir kepentingan pemerintahan komunitas. Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA pada intinya mendasarkan pengelolaan tanah dan sektor agraria nasional bersandar pada hukum adat.

Namun tak dapat dipungkiri bahwa pada kenyataannya pemerintahan komunitas seringkali tersandung masalah dengan negara atas dasar kepentingan nasional. Konflik agraria antara negara – private sector dan pemerintahan komunitas – masyarakat adat – ironisnya dapat mudah dijumpai di negara penuh ke-bhineka-an ini. Pulau Kalimantan menjadi salah satu pulau penuh konflik agraria dengan dalih menjadikannya sebagai lumbung energi. Salah satu contoh nyata datang dari wilayah perbatasan antara Provinsi Kalimantan Tengah dengan Kalimantan Barat, yakni masyarakat adat Dayak Tomun di Laman Kubung dan Laman Sekombulan, Kecamatan Delang, Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah.

Semenjak tahun 1970-an yang memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi perusahaan swasta maupun investor untuk pengelolaan hutan dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) dan HTI (Hutan Tanaman Industri), maka potensi tergusurnya pemerintahan komunitas dan masyarakat adat sebagai pengelola tanah adat pun membesar (Martua Sirait, 1999). Begitu pula yang terjadi pada masyarakat adat Dayak Tomun di Lamang Kubung dan Lamang Sekombulan sebagai pengelola original daripada wilayah hutan di sekitar Kecamatan Delang. Operasi HTI PT Wana Hijau Desaguan di Kalimantan Barat yang berbatasan langsung dengan Kalimantan Tengah secara perlahan namun pasti menimbulkan back wash effect bagi masyarakat adat Dayak Tomun. Eksternalitas negatif yang dirasakan oleh masyarakat adat menimbulkan keluhan akan sulitnya mencari ramu-ramuan hutan hingga hewan buruan, juga banjir yang kini mudah datang (Saturi, 2015).

Keresahan masyarakat adat dari Kubung dan Sekombulan yang mana lahan mereka masuk ke dalam konsesi WHP pun disampaikan pada pemerintah setempat, yaitu Pemerintah Lamandau. Meski demikian, hingga saat itu pun pemerintah kabupaten belum mampu untuk melakukan suatu tindakan yang dapat melindungi masyarakat adat Dayak Tomun yang berada di wilayah perbatasan tersebut. Hal ini lah yang mendorong masyarakat adat Dayak Tomun membuat peta partisipatif bersama perangkat desa dan tokoh-tokoh adat (Saturi, Kala Masyarakat Dayak Tomun Deklarasikan Peta Wilayah Adat, 2015).

Sebagai pemerintahan komunitas yang berasaskan direct democracy – yang mana setiap proses pembuatan kebijakan berdasar pada community level management dan diambil oleh, bersama, atau atas nama komunitas melalui para pemangku kebijakan di pemerintahan komunitas –, masyarakat adat Dayak Tomun mengundang desa dan komunitas yang bersebelahan untuk bersama melindungi wilayah dari ancaman investasi. Proses pembuatan peta didukung secara teknis oleh Walhi Kalimantan Tengah secara swadaya (Saturi, Kala Masyarakat Dayak Tomun Deklarasikan Peta Wilayah Adat, 2015).

Deklarasi masyarakat adat Dayak Tomun melalui peta wilayah dijadikan sebagai strategi untuk menegakkan kedaulatannya sebagai self governing community. Peta wilayah adat dijadikan sebagai alat pendorong agar semua pihak terutama pemerintah dapat mengakui batas-batas daripada tanah wilayah adat. Selain itu, peta wilayah adat pun diharapkan mampu melindungi hutan berdasarkan kearifan lokal.

Masyarakat Adat Dayak Tomun bergerak bersama salah satu civil society yang bergerak di bidang pemerhati lingkungan, yaitu Walhi Kalimantan Tengah dalam merancang strategi secara teknis – keruangan – hingga dalam proses pengangkatan wacana. Dalam deklarasinya, masyarakat adat Dayak Tomun tidak hanya memproklamirkan peta wilayah adat, namun juga beberapa tuntutan akan hak-hak mereka pada Pemerintahan Jokowi-JK. Tidak berhenti sampai situ, deklarasi masyarakat adat Dayak Tomun pun diikuti oleh Desa Karang Dangin dari Kalimantan Barat. Hal-hal yang telah dilakukan oleh masyarakat adat Dayak Tomun menunjukkan tingkat strategi yang telah mencakup segi legal, politik, keruangan, dan wacana.

Persoalan yang dihadapi oleh masyarakat adat Dayak Tomun hingga menimbulkan keinginan keras untuk membuat sebuah deklarasi sesungguhnya berasal dari konflik agraria. Peta wilayah adat yang dibentuk merupakan alat perjuangan hak kelola dimana wilayah Desa Sekombulan sebagian besar oleh pemerintah dijadikan hutan lindung tanpa konsultasi dengan masyarakat adat setempat. Karena sesungguhnya, masyarakat adat Dayak Tomun melakukan pengelolaan terhadap hutan adat mereka dengan kearifan lokal yang mereka miliki.

Konflik agraria yang terjadi pada pemerintahan komunitas di daerah Kalimantan Tengah bukanlah hal baru bagi Indonesia. Kepentingan nasional, pertumbuhan ekonomi, serta pemenuhan objectives dari pemerintah yang berwenang seolah menjadi subject yang kemudian menjadi paradoks di saat adanya UUD 1945 dan UUPA yang mengakui keberadaan dan peran daripada pemerintahan komunitas dalam pengelolaan hutan serta wilayah adat. Karenanya, Indonesia selalu dihadapkan pada choices yang memang pelik.

“Pada titik manakah Indonesia dapat merasakan ‘kepuasan’ dari kombinasi kedua pilihan ‘konsumsi’-nya? Dengan asumsi bahwa; saat terjadi pengeluaran terhadap pilihan A, maka akan ada pengorbanan bagi pengeluaran terhadap pilihan B, vice versa.” – Marginal Rate of Substitution Concept

Bibliography

Fuad, F. (2016). Keberadaan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat dalam Pembangunan Hukum Agraria di Indonesia. RISET FH UAI, 46-51.

Martua Sirait, C. F. (1999). Bagaimana Hak-hak Masyarakat Hukum Adat dalam Mengelola Sumber Daya Alam Diatur. Southeast Asia Policy Research Working Paper No.24, 2-32.

Saturi, S. (2015, Mei 15). Kala Masyarakat Dayak Tomun Deklarasikan Peta Wilayah Adat. Retrieved 10 10, 2016, from MONGABAY: http://www.mongabay.co.id/2015/05/15/kala-masyarakat-dayak-tomun-deklarasikan-peta-wilayah-adat/

Saturi, S. (2015, April 28). Video: Warga Delang Tak Mau Hutan Mereka Hilang. Retrieved 10 10, 2016, from MONGABAY: http://www.mongabay.co.id/2015/04/28/video-warga-delang-tak-mau-hutan-mereka-hilang/

Tinggalkan komentar