Pengantar Aksi: Kebebasan Mimbar Akademik

Bvo5DWoCAAAgLck

Setiap tahunnya, ada ciri khas dari PPSMB Society -orientasi pengenalan kampus bagi mahasiswa baru Fisipol UGM- yaitu aksi lapangan. Aksi  dilakukan bukan bertujuan untuk membangun paradigma bahwa mahasiswa Ilmu Sosial dan Politik itu gemar berdemo apalagi bertindak sembrono. monggo dibaca dulu tulisan-tulisan dari teman kita di Manajemen Opini Publik (MOP) DEMA FISIPOL UGM berikut untuk membedakan apa itu aksi dan demonstrasi. http://www.mopdema.blogspot.co.id. Selain bertujuan membangun kesadaran dan kepekaan akan kondisi lingkungan sosial, aksi dilakukan untuk membangun pribadi yang kritis bagi tiap insan cendekia intelektual muda mahasiswa baru Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada.

Untuk membakar semangat dari maba.
Berikut kami sajikan pengantar aksi untuk besok.

Kajian Strategis
Dewan Mahasiswa Fisipol UGM 2016

Pengantar Aksi: Robohnya Mimbar Akademik

Dalam bidang hukum khususnya, reformasi 1998 telah mengilhami adanya amandemen dalam sistem perundang-undangan Indonesia; tak lain dan tak bukan dalam rangka menghapuskan sentralisasi power politik dengan pembatasan hak prerogratif lembaga eksekutif, reformasi birokrasi, penghapusan dwifungsi angkatan bersenjata, reduksi produk hukum yang diskriminan, serta penghidupan nilai-nilai hak asasi manusia dalam konstitusi negara. Nilai-nilai hak asasi manusia tersebut secara lebih lanjut diatur dalam UUD 1945 Pasal 27 dan 28 tentang Warga Negara dan Penduduk. Nilai-nilai substansial yang diatur dalam Pasal 27 dan 28 adalah refleksi dari bentuk komitmen negara yang dalam hal ini diwakili oleh pemerintah dan aparaturnya untuk memenuhi hak-hak warga negara, dimana hak yang bertanggung jawab tersebut tidak dapat dicederai, bahkan oleh pemerintah sebagai representasi dari negara yang sejatinya dimiliki oleh rakyatnya sendiri.

Paradoksnya, akhir-akhir ini terjadi beberapa kasus sosial yang berbenturan dengan semangat reformasi, dan di sisi lain dapat dikatakan sebagai pencederaan terhadap hak asasi manusia yang dimiliki oleh warga negara. Realitas yang dimaksud adalah kasus iliterasi dan pemberangusan atribut kiri (re: ideologi kiri) yang ramai pada April dan Mei lalu, mulai dari pemberangusan segala atribut berlogo palu arit, penyitaan buku-buku yang membahas tragedi 65’ seperti pembredelan sejumlah buku yang terjadi di swalayan di daerah Grobogan Jawa Tengah beberapa bulan yang lalu[1], pelarangan festival bertajuk “Belok Kiri Fest” yang dilakukan penyintas sejarah, seniman, dan aktivis HAM, hingga pengamanan aktivis yang mengenakan kasus PKI atau Pecinta Kopi Indonesia[2]. Ketakutan pemerintah dan kelompok tertentu terhadap bangkitnya kembali PKI (Partai Komunis Indonesia) atau yang setara dengan ideologi komunisme sudah sepantasnya tidak dengan jalan membabi buta yaitu dengan melanggar hak untuk berekspresi warga negara.

Tragisnya, sejumlah diskusi terkait peristiwa ‘65 yang diadakan oleh beberapa instansi untuk kepentingan akademik, juga mendapat represi dari berbagai oknum. Bahkan beberapa di antaranya dibubarkan, termasuk pemutaran film Pulau Buru yang diadakan di Fakultas Hukum UGM beberapa bulan yang lalu. Padahal, dalam pasal 3 TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 sendiri mengatur bagaimana seharusnya pemerintah berlaku adil, terlebih jika materi yang dibahas ada di dalam lingkungan akademik berupa institusi perguruan tinggi.

“Khususnya mengenai kegiatan mempelajari secara ilmiah, seperti pada Universitas-universitas, faham Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam rangka mengamankan Pancasila dapat dilakukan secara terpimpin dengan ketentuan bahwa Pemerintah dan DPR-GR diharuskan mengadakan perundang-undangan untuk pengamanan.” (Pasal 3 TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966)

Kemudian, pemerintah lebih lanjut dalam TAP MPR Nomor III/MPR/2000 mengatur tentang Sumber Hukum Dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan yang di dalam pasal 7-nya secara jelas mengatakan telah mencabut memorandum DPR-GR atas sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan. Maksudnya, bahwa DPR-GR yang sudah dibubarkan di era reformasi ini tidak berhak lagi menyebut dirinya sebagai lembaga pemerintah yang berhak melakukan pengamanan atas diskusi di perguruan tinggi. Singkatnya, instansi sebesar DPR-GR saja sudah dicabut status hukumnya untuk pengamanan, apalagi ormas yang tidak memiliki kewenangan dan ABRI yang sudah dihapuskan dwifungsinya. Lantas, dimana hak mereka untuk berani membubarkan?

“Dengan ditetapkannya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan ini, maka Ketetapan MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Memorandum DPR-GR mengenai Sumber Tertib Hukum Republik Indonesia dan Tata Urutan Peraturan Perundangan Republik Indonesia dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IX/MPR/1978 tentang Perlunya Penyempurnaan yang Termaktub dalam Pasal 3 ayat (1) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor V/MPR/1973 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.”  (Pasal 7 TAP MPR Nomor III/MPR/2000)

Lebih lanjut, hal-hal yang bersifat represif tidak boleh dan tidak bisa lagi dilakukan dengan sewenang-wenang di negeri ini, karena hal itu jelas akan mengkhianati amanat reformasi 98 silam. Sesuai Pasal 28 UUD 1945 hasil amandemen secara terang menjelaskan bahwa, kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. Secara lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 28 E ayat (2) bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.” serta ayat (3) yang berbunyi “setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”

Berangkat dari berbagai hal di atas, muncul pertanyaan di benak kita, apakah reformasi 1998 seolah bukan benar-benar menjadi gerbang kebebasan, meski dalam bidang akademik sekalipun? Hal tersebut berarti kita dibatasi dalam mempelajari suatu ideologi, atau sekedar membaca literasi kiri. Lebih lanjut, apakah apabila di luar konteks akademis, berarti kita dibatasi dan dilarang untuk memperjuangkan apa yang kita anggap benar termasuk berekspresi? Karena sejatinya batasan selalu dibuat kabur, agar mereka mampu menjustifikasi bahwa perjuangan tiap-tiap entitas yang berbeda dengan kepentingan mereka, dapat dianggap menyalahi konstitusi. Meski hal tersebut adalah kebenaran dan mereka berlindung dari produk hukum yang mereka buat sendiri.

***

“Kini waktunya kita semua bersatu mempertahankan demokrasi. Nilai yang dulu kita pertaruhkan dan banyak orang gugur karenanya. Diantaranya adalah mempertahankan kebebasan akademik. Kebebasan yang diancam oleh sekumpulan orang maupun oknum yang tak mau kampus hidup berdasar atas landasan pengetahuan kritis. Pembubaran diskusi, film, hingga pers mahasiswa telah menodai kampus yang mustinya diberi panggung bagi berlaganya ide-ide progresif.” (Forum Intelektual Progresif)

Mahasiswa Baru Fisipol 2016. Bagaimana Reaksimu?

[1] R. Sofwan, ‘Kapolri Sebut Kejaksaan Berhak Seleksi Buku Komunisme’, CNN Indonesia, 12 Mei 2016, <http://www.cnnindonesia.com/nasional/20160512151458-12-130256/kapolri-sebut-kejaksaan-berhak-seleksi-buku-komunisme/>, diakses 15 Mei 2016.

[2] I. Artharini, ‘Aksi Aparat Menindak ‘penyebaran’ Komunisme Sudah Kebablasan’, BBC Indonesia, 13 Mei 2016, <http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/05/160512_indonesia_jokowi_instruksi>, diakses 15 Mei 2016.

Naufal-Siti
Kajian Strategis
Dewan Mahasiswa Fisipol UGM 2016

Pict From: https://pbs.twimg.com/media/Bvo5DWoCAAAgLck.jpg

Tinggalkan komentar