Membangun Negara Kuat

quotes-keluarga-keluarga-adalah-hal-paling-penting-di-dunia-ini.putri-diana-x

Program Pemberdayaan Keluarga Harapan Indonesia Melalui Pendekatan Holistik dan Kontekstual

A Naufal Azizi, Dianrafi Alphatio W, Qurri Cempaka Arismiati P[1]

 

Dalam lima tahun terakhir, Indonesia mengalami lonjakan konflik kekerasan terhadap anak secara signifikan. Laporan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pada pertengahan 2015 lalu menyatakan, kekerasan pada anak selalu meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2011, terjadi 2178 kasus kekerasan, 2012 ada 3512 kasus, 2013 ada 4311 kasus, dan 2014 ada 5066 kasus. Selain itu, menurut hasil monitoring dan evaluasi KPAI tahun 2012 di 9 provinsi Indonesia, menunjukan bahwa kekerasan pada anak dapat terjadi di 3 tempat yang berbeda. Lingkungan keluarga, menjadi tempat yang paling dominan tindak kekerasan terhadap anak ini terjadi dengan 91 persen, diikuti dengan 87,6 persen di lingkungan sekolah, dan 17,9 persen di lingkungan masyarakat.[2]

Meningkatnya konflik kekerasan terhadap anak dan sebagian besar terjadi di lingkungan keluarga ini membangkitkan pertanyaan besar: Apakah ada yang keliru dengan pondasi kebijakan pemberdayaan keluarga Indonesia saat ini? Jika terjadi kekeliuran, lantas pondasi macam apa yang semestinya digunakan? Bukankah dalam membangun negara kuat dibutuhkan pula keluarga yang kuat?

Esai ini adalah bagian dari ikhtiar untuk menjawab pertanyaan tersebut. Untuk menjawab pertanyaan itu, esai ini menawarkan rekonstruksi dan evaluasi dari beberapa program pemberdayaan keluarga oleh pemerintah yang kaku dan cenderung menjadikan keluarga sebagai objek yang harus ‘dikasihi dan disantuni’, bukan sebagai bagian dari objek yang harus diberdayakan guna menciptakan ketahanan suatu negara bangsa. Esai ini berargumen bahwa melalui pendekatan holistik dan kontekstual dalam memahami permasalahan yang terjadi di keluarga Indonesia saat ini, dapat memaksimalkan program pemberdayaan keluarga itu sendiri. Sebelum melangkah lebih jauh, kita perlu bertanya: Kenapa dibutuhkan keluarga yang kuat untuk membangun ketahanan suatu negara?

Membangun Keluarga, Membangun Ketahanan Bangsa

Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dalam sambutannya di Civil Society Summit di Panama 2015 mengatakan, bahwa dalam negara yang kuat dan sukses membutuhkan masyarakat sipil yang kuat dan aktif.[3] Dan masyarakat sipil yang kuat dan aktif dibentuk dari pembangunan keluarga yang harmonis. Membangun keluarga adalah membangun bangsa. Ide ini selaras dengan apa yang di cita-citakan pemerintahan Joko Widodo saat ini melalui revolusi mentalnya. Menurut Okky Asokawati, anggota komisi IX DPR-RI (2014-2019) bahwa revolusi mental harus diawali dengan perubahan mental keluarga, karena keluarga adalah unit terkecil dari sebuah kelompok sosial yang disitu landasan nilai dasar bagi pertumbuhan anak dibentuk.[4]

Selain itu, menurut Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Surya Chandra Surapaty, keluarga merupakan lingkungan hidup primer dan fundamental dalam pembentukan generasi bangsa.[5] Kehidupan keluarga sejatinya menentukan keadaan masyarakat, bangsa, dan negara.  Di dalam keluargalah penanaman nilai-nilai moral seperti kejujuran, kesopanan, tata-krama, dan pembentukan kepribadian lain bagi anak terjadi. Namun, keluarga dimaknai bukan hanya sebagai tempat tumbuh kembangnya anak yang pertama, ia adalah pondasi untuk lahirnya sebuah negara bangsa yang kuat dan kokoh.

Sayangnya, hingga saat ini, pembangunan di Indonesia masih berorientasi pada perbaikan infrastruktrur semata dan jarang memperhatikan pemberdayaan terhadap keluarga. Masih banyak sebenarnya pekerjaan rumah bagi bangsa Indonesia dalam membangun ketahanan keluarga. Tingkat perceraian yang tinggi, menjamurnya kenakalan remaja, pergaulan bebas, tindak kekerasan terhadap anak yang terus meningkat, penyalahgunaan narkoba, radikalisme, hingga pudarnya semangat nasionalisme tak lepas dari masalah yang menjangkit keluarga kita saat ini. Menurut data yang dirilis Kementrian Agama RI yang disampaikan oleh Kepala Subdit Kepenghuluan, Anwar Saadi, di 2013 saja ada 324.527 kejadian pasangan suami istri yang bercerai, yang jika dirata-rata ada sekitar 900an kasus perceraian setiap harinya, atau sekitar 37-40 perceraian setiap jamnya.[6]

Selain itu, menurut data dari Komnas Perempuan di akhir 2013 lalu, telah terjadi peningkatan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sebanyak 11.719 kasus dari 2012 yang berjumlah 8.315 kasus.[7] Wajar, jika Jazuli Juwaini (2015) dalam bukunya yang berjudul Menjadikan Demokrasi Bermakna menyebut bahwa Indonesia saat ini sedang dalam kondisi darurat peranan keluarga. Menurut beliau, hadirnya berbagai permasalahan yang ada dalam keluarga terjadi karena kealpaan orang tua itu sendiri dalam membina hubungan rumah tangga yang harmonis.

Panjangnya rentetan peristiwa memilukan yang menimpa keluarga Indonesia saat ini seakan menimbulkan pertanyaan baru bagi kita: Apakah program pemberdayaan keluarga dari pemerintahan Joko Widodo yang berupa pemberian Kartu Keluarga Sejahtera dan beberapa program dari BKKBN dalam pemberdayaan keluarga berencananya kurang maksimal atau bahkan tidak tepat sasaran? Mari kita telaah lebih dalam.

 

Program Pemerintah Potensial, Namun Tidak Tepat Sasaran

            Banyak upaya pemerintah memperbaiki program kesejahteraan masyarakat, khususnya bagi keluarga Indonesia yang kurang mampu. Salah satunya adalah melalui Kartu Keluarga Sejahtera yang sudah diluncurkan pemerintahan Joko Widodo di penghujung 2014 lalu. Melalui kartu ini, keluarga kurang mampu akan diberikan simpanan produktif setiap bulan sebesar 200 ribu rupiah dengan 15,5 juta keluarga kurang mampu di seluruh Indonesia. Kebijakan ini disatu sisi menguntungkan keluarga kurang mampu secara finansial. Namun, ada efek yang harus dibayar mahal oleh pemerintah karena hanya menjadikan keluarga kurang mampu menjadi objek yang harus ‘disantuni’, bukan untuk diberdayakan. Alhasil, bukan kesejahteraan keluarga yang tercipta, namun lonjakan permintaan dana dari Bantuan Sosial Kementerian Sosial RI untuk dibagikan setiap bulannya ke keluarga kurang mampu tersebut.

Hilangnya fungsi pemerintah dalam memberdayakan setiap keluarga Indonesia juga akan berakibat pada hilangnya ketahanan suatu negara bangsa karena hilangnya pembinaan karakter yang intensif di lingkungan keluarga itu sendiri. Data terus berbicara, bahwa ketidak-harmonisan suatu keluarga bukan selalu timbul pada keluarga yang kekurangan finansial saja. Namun, juga pada keluarga mapan atau bahkan kaya yang tidak mengenal bagaimana pola asuh anak yang baik, manajemen keluarga yang baik, dan pendidikan keluarga yang semestinya diajarkan kepada anak.

Selain itu, program dari BKKBN mengenai program Kependudukan  Keluarga Berencana dan Pembangunan Keluarga (KKBPK) juga masih sangat jauh dari harapan. Program yang dikeluarkan seperti pelayanan KB dan Bina Keluarga Balita (BKB) masih sangat bertumpu pada perkembangan kesehatan anak, bukan pada pola asuh dan manajemen pembentukan keluarga yang harmonis. Oleh karena itu, sangat diperlukan program khusus dari pemerintah untuk memberdayakan keluarga Indonesia saat ini, bukan hanya untuk keluarga kurang mampu, atau sebatas pemeriksaan kesehatan balita, namun juga untuk seluruh lapisan masyarakat dengan tidak memandang strata sosial. Karena sekali lagi, negara yang kuat adalah negara yang memiliki pondasi keluarga yang harmonis.

Program Pemberdayaan Keluarga Harapan Indonesia Dengan Pendekatan Holistik dan Kontekstual

            Banyaknya program dari pemerintah dan lembaga kemasyarakatan mengenai pemberdayaan keluarga di Indonesia, tidak diimbangi dengan pengurangan angka kekerasan terhadap anak, KDRT, maupun tindak asusila lain yang dilakukan remaja/orang tua menimbulkan kelucuan tersendiri bagi kita. Apa sebenarnya yang salah dengan kebijakan yang dikeluarkan?

Oleh karena itu, penulis beranggapan bahwa pemerintah harus merekonstruksi dan mengevaluasi kebijakan mengenai pemberdayaan keluarga dengan pendekatan holistik dan konstekstual. Pendekatan holistik adalah pendekatan dengan melibatkan seluruh aspek baik mengenai “knowledge, feeling, loving, dan acting” (Ratna, 2015:2). Sedangkan aspek konstekstual terkait dengan memahami realita sesuai dengan keadaan aslinya (di luar dari teori yang mengikat).

Dengan pendekatan itu, pemerintah dalam kebijakannya tidak hanya sekedar ‘menyantuni’ keluarga kurang mampu, namun juga memperhatikan kondisi rumah tangga seseorang, memperhatikan tumbuh kembangnya anak, memberikan pengawasan dan pembinaan yang intensif di setiap keluarga Indonesia melalui Dinas Sosial di tiap daerah.

Program yang penulis tawarkan adalah program Pemberdayaan Keluarga Harapan Indonesia yang tidak membedakan keluarga binaan menurut kelas sosial. Namun, beranggapan bahwa semua keluarga Indonesia harus diberdayakan. Melalui Dinas Sosial di tiap daerah kabupaten dan kota di Indonesia, program ini akan menawarkan berbagai program di dalamnya, antara lain; Pembinaan Pasangan Pra Nikah, Pembinaan Hubungan Rumah Tangga, Pendidikan Keluarga Harmonis,  Pendidikan Pola Asuh Anak, Pendidikan Keluarga Mandiri, Pengembangan Sumber Daya Keluarga, Pembinaan dan Pengawasan Ibu Hamil dan Menyusui, Program Jaminan Kesehatan Anak dan Pendidikan, dan berbagai konseling lain yang disediakan pemerintah dengan sifat dua arah melalui pendekatan holistik dan kontekstual.

Dengan tawaran program ini, penulis mengharapkan agar pemerintah tidak lagi membuat program berdasar pada data statistik saja, akan tetapi juga melihat konsteks yang ada di lapangan dan apa yang dibutuhkan keluarga Indonesia saat ini. Bukankah banyak anak Indonesia saat ini yang yatim piatu secara sosial? Secara fisik orang tuanya ada. Namun, dalam kehidupan anak, orang tua hanya hadir sebagai ATM berjalan yang datang ketika sang anak membutuhkan. Bukankah keluarga yang harmonis salah satu pilar negara yang kuat? Wajar, jika penulis katakan, bahwa Indonesia krisis panutan orangtua.

References

Anindita. (2014, Nopember 20). Program Kependudukan dan KB.PPKBD. Retrieved from bkkbn.go.id: http://www.bkkbn.go.id/

Astuti, S. I. (-). PENDEKATAN HOLISTIK DAN KONTEKSTUAL : Prinsip Dalam Mengatasi Krisis Karakter di Indonesia. , 1-19.

Ghofar, A. (2014, Nopember 2). Kartu Sakti Jokowi Bisa Timbulkan Masalah Baru. Retrieved from umm.ac.id: http://www.umm.ac.id/opini/id-file_opini_umm_436.pdf

Irman. (-, – -). Pengertian dan Proses Program Keluarga Harapan. Retrieved from irmanfsp.tk: http://www.irmanfsp.tk/2015/10/pengertian-dan-proses-program-keluarga.html

Juwaini, J. (2015). Menjadikan Demokrasi Bermakna. Jakarta: Darussalam Publishing.

Munady. (2015, Desember 22). Angka Perceraian di Indonesia Sangat Fantastis. Retrieved from pikiran-rakyat.com: http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/12/22/354484/angka-perceraian-di-indonesia-sangat-fantastis

Muta’ali, A. (2012). Membangun Negara Kuat. Jakarta: UI-Press.

Setiadi, A. (2014, Nopember 5). Angka KDRT di Indonesia Meningkat, Ini Sebabnya. Retrieved from daerah.sindonews.com: http://daerah.sindonews.com/read/919676/22/angka-kdrt-di-indonesia-meningkat-ini-sebabnya-1415099048

Setyawan, D. (2015, Juni 14). KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat. Retrieved from kpai.go.id: http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/

Sutriyanto, E. (2015, Juli 30). Keluarga Jadi Kunci Membangun Bangsa yang Berkarakter. Retrieved from tribunnews.com: http://www.tribunnews.com/nasional/2015/07/30/keluarga-jadi-kunci-membangun-bangsa-yang-berkarakter

TNP2K. (-, – -). Program Keluarga Harapan (PKH). Retrieved from tnp2k.go.id: http://www.tnp2k.go.id/id/tanya-jawab/klaster-i/program-keluarga-harapan-pkh/

TNP2K. (2014, – -). Tentang Program Keluarga Produktif. Retrieved from tnp2k.go.id: http://www.tnp2k.go.id/id/program/program-membangun-keluarga-produktif/tentang-program-keluarga-produktif/

Wibowo, S. (2015, July 26). Peran Keluarga dalam Membangun Bangsa. Retrieved from kompasiana: http://www.kompasiana.com/sbowo/peran-keluarga-dalam-membangun-bangsa_55b4199326b0bde318f0f600

 

[1] Mahasiswa Departemen Politik dan Pemerintahan, FISIPOL Universitas Gadjah Mada 2015

[2] Davit Setyawan, KPAI: Pelaku Kekerasan Terhadap Anak Tiap Tahun Meningkat, diakses dari http://www.kpai.go.id/berita/kpai-pelaku-kekerasan-terhadap-anak-tiap-tahun-meningkat/ , pada tanggal 2 April 2016 pukul 20.17

[3] Pidato Presiden Obama bisa di akses di laman https://www.youtube.com/watch?v=zAE9Ztt4EFs

[4] Metrotv public corner bisa diakses di laman http://video.metrotvnews.com/play/2015/11/11/449646/bkkbn-saatnya-revolusi-mental-dimulai-dari-keluarga

[5] Eko Sutriyanto, Keluarga Jadi Kunci Membangun Bangsa yang Berkarakter, diakses dari laman http://www.tribunnews.com/nasional/2015/07/30/keluarga-jadi-kunci-membangun-bangsa-yang-berkarakter , pada tanggal 3 April 2016 pukul 10.28

[6] Munady, Angka Perceraian di Indonesia Sangat Fantastis, diakses dari laman http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/12/22/354484/angka-perceraian-di-indonesia-sangat-fantastis , pada tanggal 3 April 2016 pukul 17.51

[7] Arief Setiadi, Angka KDRT di Indonesia Meningkat, Ini Sebabnya, diakses dari laman http://daerah.sindonews.com/read/919676/22/angka-kdrt-di-indonesia-meningkat-ini-sebabnya-1415099048 , pada tanggal 3 April Pukul 18.44

 

pict from : http://www.9lucu.com/wp-content/uploads/2014/12/quotes-keluarga-keluarga-adalah-hal-paling-penting-di-dunia-ini.putri-diana-x.jpg

Tinggalkan komentar