Otonomi Sepenuh Hati : Harga Mati Demi Terwujudnya Good Governance di Indonesia

governance-homepage-image-slider-2

Di negeri kita tercinta ini, Indonesia, siapa kiranya yang tidak menginginkan sebuah negara yang hadir sebagai representasi dari keinginan warganya? Di negeri kita tersayang ini, siapa kiranya yang tidak menginginkan perut kenyang saat malam tiba dan tidak ketakutan besok pagi harus makan apa? Sebuah negara yang diimpikan warganya akan kesejahteraan yang merata.

Memang sudah menjadi sebuah paket komplit, ketika ada masalah yang muncul kepermukaan pasti juga akan diiringi dengan berbagai macam solusi yang ditawarkan kemudian. Seperti Indonesia, negara kita tercinta ini, saat rezim refresif dan otoriter tumbang setelah bertahta selama 32 tahun lamanya, berbagai konsep negara demokrasi hadir di masyarakat yang sudah jemu dengan kesewenangan negara yang begitu dominan. Dalam konteks Negara Indonesia, konsep Good Governance lah yang dipilih dan dianggap paling relevan dengan masalah yang dihadapi.

Isu good governance mulai memasuki dinamika politik dan menjadi perdebatan di kalangan akademisi tatkala pembangunan dirasakan sangat manipulatif dan tidak berpihak pada kepentingan rakyat banyak. Pembangunan sangat bersifat elitis dan hanya menguntungkan kelompok-kelompok dan orang-orang yang berada di lingkaran pemerintah. Pada akhirnya, rakyat lebih sering terpinggirkan dan menjadi korban pembangunan.

Governance disini diartikan sebagai mekanisme, praktik, dan tata cara pemerintah dan warga mengatur sumber daya serta memecahkan masalah-masalah publik. Dalam konsep governance, pemerintah hanya menjadi satu dari beberapa faktor dan tidak terlalu menjadi faktor paling menentukan. Implikasinya, peran pemerintah sebagai pembangun maupun penyedia jasa pelayanan dan insfrastruktur akan bergeser menjadi badan pendorong terciptanya lingkungan yang mampu memfasilitasi pihak lain di komunitas dan sektror swasta untuk ikut aktif melakukan upaya tersebut. Governance menuntut re-definisi peran negara, dan itu berarti adanya re-definisi pula peran warga. Ada tuntutan yang lebih besar pada warga, antara lain untuk memonitor akuntabilitas pemerintah itu sendiri. Secara singkatnya, dalam konsep good governance pemerintah memberikan ruang partisipasi bagi pihak diluar pemerintah sehingga ada pembagian peran dan kekuasaan yang seimbang antara negara, masyarakat sipil, dan sektor swasta. Dengan begitu akan memungkinkan terciptanya check and balance antar sektor sekaligus dapat menghasilkan sinergi kerja dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Sejalan dengan konsep tersebut, setelah reformasi di kukuhkan tahun 1998, Presiden BJ Habibie mengesahkan dua undang-undang sebagai langkah awal pendelegasian wewenang kepada daerah (desentralisasi pemerintahan) sekaligus membuka semangat partisipatif  warga Indonesia. Undang-Undang tersebut antara lain UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah.

Otonomi daerah sebagai wujud dari kebijaksanaan desentralisasi pemerintahan yang secara gencar diperkenalkan sejak tahun 1999 telah menjadi obyek kajian dan perbincangan menarik dari berbagai kalangan. Ada sebagian besar pemerhati pemerintahan, pengamat sosial-ekonomi dan pelaku bisnis yang optimis serta bergairah menyambut lahirnya kebijakan ini. Mereka melihat otonomi daerah sebagai jembatan yang memperdekat hubungan antara rakyat dengan negara. Pemerintah yang bertanggungjawab mengelola kekuasaan negara dianggap akan lebih sensitif dan sadar akan kewajibannya memajukan kesejahteraan rakyat ketika jarak diantara mereka (negara dan rakyat) semakin dekat. Kedekatan itu juga akan membuat mulus lahirnya prioritas kebijakan pemerintah yang lebih responsif pada kebutuhan obyektif daerah.

Tetapi, ada juga sebagian kecil kalangan yang melihatnya secara pesimis dan bahkan mengkhawatirkan bahwa otonomi daerah sebagai jalan menuju kondisi pemerintahan yang lebih ruwet, akibat melemahnya kontrol pemerintah nasional terhadap perilaku pemerintah daerah yang bukan tidak mungkin akan membawa konsekuensi-konsekuensi yang buruk bagi percepatan kesejahteraan. Secara nalar, hal buruk sepert kehadiran Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme semakin terbuka lebar bagi pemerintahan daerah ditingkat yang lebih kecil. Dua pandangan yang berbeda ini memiliki landasan logika dan argumen yang benar. Keduanya  harus menjadi acuan bagi setiap pelaku pemerintahan, baik di pusat maupun di daerah.

Dalam kenyataannya, setelah kurang lebih 16 tahun otonomi daerah berjalan, memang ada sejumlah besar daerah yang secara signifikan mengalami kemajuan setelah diterapkannya otonomi daerah ini. Seperti dilansir dari laman tangerangkota.go.id, Kota Tangerang berhasil mendapatkan penghargaan Samkaryanugraha Parasamya Purnakarya Nugraha pada tahun 2014 oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, penghargaan tersebut merupakan penghargaan kepada daerah yang dianggap berkinerja tinggi dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.

Namun, pada saat yang sama kekhawatiran dari mereka yang pesimis juga terbukti dalam berbagai kasus, khususnya yang berkenaan dengan korupsi dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Seperti dilansir dari laman merdeka.com, di tahun 2013 saja sudah ada 24 kepala daerah yang terjaring kasus dugaan korupsi. Ditambah pilu dengan data yang dimuat di laman nasional.news.viva.co.id berdasarkan data dari lembaga pemantau korupsi Indonesia atau Indonesia Corruption Watch (ICW) pada tahun 2014 bahwa, jabatan pemerintahan yang paling sering tersangkut kasus korupsi adalah pejabat pemda/kementerian dengan perolehan persentase 42.6 persen, disusul dengan jabatan direktur/komisaris/konsultan/pegawai swasta dengan persentase 18.9 persen.

Hal seperti ini juga terjadi di tiga tahun pertama penerapan otonomi daerah di Indonesia selepas reformasi. Gejala yang diprediksi, baik dari kaum yang optimis dan pesimis sudah mulai nampak ke permukaan. Keadaan ini yang kemudian mendorong pemerintah melakukan perubahan perundang-undangan melalui lahirnya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai pengganti atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Inti dari perubahan itu adalah ditariknya beberapa kewenangan kembali ke pusat (resentralisasi kekuasaan), diperkuatnya peran pemerintah nasional dalam pengaturan kewenangan di bidang keuangan, perpajakan dan retribusi –yang nantinya akan membuat susah kembali urusan pemerintah daerah– ,organisasi kepegawaian daerah, serta dialihkannya kewenangan memilih kepala daerah dari DPRD kepada rakyat secara langsung.

Sejatinya, pemerintah daerah dapat menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi. Namun, realita yang kita hadapi sekarang, terjadi tarik ulur kewenangan antara Pusat dan Daerah, sehingga menyulitkan terciptanya pengelolaan negara secara desentralistik.

Menurut Alif Nurdiansyah, penyebab terjadinya kesulitan pada praktik otonomi daerah di lapangan adalah karena implementasi otonomi masih setengah hati, karena di satu sisi memberikan keleluasaan dalam menentukan arah kebijakan politik daerah, misalnya mekanisme pemilukada langsung. Tapi di sisi lain kebijakan seputar pengelolaan keuangan masih erat di pegang pusat, dan ini yang seringkali justru menyebabkan daerah sulit berkembang dan tetap bergantung pada dana-dana dari pusat.

Di dalam bukunya yang berjudul “Otonomi Sepenuh Hati”, Jazuli Juwaini berusaha merekonstruksi makna, konsep, dan implementasi otonomi dengan mengajukan sebuah argumen bahwa otonomi harus dimaknai sebagai proses otonomisasi masyarakat menuju kesejahteraan. Dengan dasar ini, para stakeholder harus menjalankan otonomi dengan sepenuh hati tanpa ada upaya untuk membajak otonomi untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Pemerintah pusat dituntut untuk memberikan apa yang benar-benar menjadi hak dan kompetensi daerah. Sebaliknya, pemerintah daerah menerima dan mengoptimalkan dengan penuh komitmen apa-apa yang menjadi hak dan kompetensinya tersebut. Bukan hanya harmonisasi dalam level pemerintahan, otonomi daerah harus memberikan ruang partisipasi dan konstribusi bagi masyarakat, sehingga otonomi benar-benar menjadi berkah bagi masyarakat.

Otonomi yang kita inginkan bukan ekonomi tanpa batas, saling lepas, dan dimaknai sebagai keterpisahan antar satuan pemerinahan, karena kita berkomitmen pada negara kesatuan. Otonomi yang kita maksud juga bukan dalam langgam sentralistis seperti yang pernah kita alami sekian lama dalam cengkeraman orde baru. Otonomi yang kita inginkan adalah otonomi yang hakiki, otonomi dalam arti luas, nyata, dan bertanggung jawab yang sebenarnya, dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Otonomi sepenuh hati, tanpa mengurangi dan dikurangi makna dan fungsinya akan membawa bangsa ini ke kehidupan yang lebih sejahtera. Otonomi sepenuh hati, tanpa setengah-setengah, tanpa ragu untuk memaksimalkan dan mempercayakan kepada daerah dan terus mengawasi pelaksanaannya akan membawa kemakmuran tersendiri bagi rakyatnya. Otonomi sepenuh hati, menjadi harga mati bagi rakyat Indonesia yang mengimpikan tatanan pemerintahan yang baik, good governance.

 

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Azhar Kasim, M. H. (2015). Merekontstruksi Indonesia: Sebuah Perjalanan Menuju Dynamic Governance. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Chalid, P. (2005). Otonomi Daerah, Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik. Jakarta.

Juwaini, J. (2015). Otonomi Sepenuh Hati. Jakarta: Darussalam Publishing.

 

Internet

Humas dan Protokol Pemkot Tangerang. (2014, April 25). Pemkot Tangerang Dianggap Berhasil Terapkan Otonomi Daerah. Retrieved from tangerangkota.go.id: http://tangerangkota.go.id/pemkot-tangerang-dianggap-berhasil-terapkan-otonomi-daerah

Humas KPK. (2013, Juni 12). Daftar kepala daerah terlibat korupsi. Retrieved from merdeka.com: http://www.merdeka.com/khas/daftar-kepala-daerah-terlibat-korupsi-kepala-daerah-korup-4.html

Jurnalis. (2012, Jaanuari 27). Otonomi Daerah masih setengah hati. Retrieved from news.okezone.com: http://news.okezone.com/read/2012/01/27/447/564578/otonomi-daerah-masih-setengah-hati

Ngazis, A. N. (2014, Agustus 17). Ini Daftar Jabatan Paling Sering Tersangkut Korupsi. Retrieved from Viva.co.id: http://nasional.news.viva.co.id/news/read/529723-ini-daftar-jabatan-paling-sering-tersangkut-korupsi

Nurdiansah, A. (2015, Juni 23). Otonomi Setengah Hati? Retrieved from kompasiana.com: http://www.kompasiana.com/arif.nurdiansah/otonomi-setengah-hati_54f75f50a3331145338b46db

 

Sumber Gambar : http://www.sussexdowns.ac.uk/wp-content/uploads/governance-homepage-image-slider-2.jpg

(Naufal)

Tinggalkan komentar