Asalamualaikum dan Sampurasun

Asalamualaikum dan Sampurasun

Peran Good Civil Society dan Bad Civil Society di Purwakarta, Jawa Barat

 spanduk-sampurasun-habib-rizieq_20151219_140201

(cr. http://cdn-2.tstatic.net/jabar/foto/bank/images/spanduk-sampurasun-habib-rizieq_20151219_140201.jpg)

Siapa yang tidak mengenal “civil society” digadang-gadang sebagai aktor utama dalam proses demokratisasi? Namun siapa yang menyangka bahwa civil society pun memiliki dua wajah yang saling bertolak belakang?

Pertengahan November 2015 lalu, Masyarakat Suku Sunda digemparkan atas beredarnya video ceramah Habib Riziek Shihab, Pendiri Front Pembela Islam (FPI) di Purwakarta, Jawa Barat yang memplesetkan ucapan sampurasun menjadi campur racun. Sampurasun sendiri merupakan salam dalam Bahasa Sunda yang berarti “maaf”. Merasa bahwa plesetan ini merupakan penghinaan besar terhadap budaya Sunda, Aliansi Masyarakat Sunda melalui Angkatan Muda Siliwangi (AMS) meminta sang pendiri FPI untuk meminta maaf di depan khalayak umum.

Sekjen Angkatan Muda Siliwangi, Denda Alamsyah AMS bersama 22 kelompok atau organisasi Sunda membentuk Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat guna menuntut Habib Rizieq. Selanjutnya Denda mengatakan, “Kalau sudah meminta maaf, nanti kami bicarakan lagi. Siapa tahu dia (Habib Rizieq) nantinya jadi saudara kami.”. Masyarakat Sunda terkenal dengan keramahtamahan dan kelembutannya, ini pun yang terjadi saat “konflik” antara adat dan ‘agama’. Namun, pendiri FPI, Bapak Habib tidak cukup merespon maupun meminta maaf atas hal yang telah diperbuat.

Plesetan sampurasun menjadi campur racun dilatarbelakangi oleh Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi yang dituding melakukan tindak penistaan agama. Seperti yang dimuat http://www.habibrizieq.com, Bupati Dedi Mulyadi disebut mulai sering meninggalkan Salam Syariat Islam “Asalaamualaikum”  dan menggantinya dengan Salam Adat Sunda “Sampurasun” (Jalaudin, 2015). Bupati Dedi Mulyadi ini diduga menistakan Agama Islam dan melegalkan beberapa tindakannya yang seolah ingin menghidupkan kembali Sunda Wiwitan melalui jabatannya sebagai Bupati.

Angkatan Muda Siliwangi (AMS) selanjutnya melaporkan Pendiri FPI, Habib Rizieq pada Polda Jawa Barat dengan tuduhan pelanggaran terhadap UU ITE. Seakan sahut-menyahut, Majelis Taklim Manhaj Sholihin, FPI Purwakarta, dan FPI Jawa Barat juga melaporkan Bupati Purwakarta, Dedi Mulyadi atas dugaan tindak penistaan dan penodaan agama.

Buntut persoalan tidaklah berhenti sampai pada penuntutan maupun laporan, melainkan ormas A vs ormas B. Ribuan warga Purwakarta pun ditempatkan dalam posisi yang benar-benar dilematis. Kebingungan dan banyaknya pihak yang terprovokasi membuat kondisi sempat memanas. Bahkan, Habib Riziek Shihab ditolak kedatangannya kembali ke Purwakarta oleh warga setempat. Warga Purwakarta menilai bahwa Habib Riziek hanya akan memprovokasi dan membuat keadaan semakin keruh. Warga Purwakarta tidak menolak dakwah maupun syiar agama, namun menolak akan isi dari dakwah yang berbau provokatif.

Pengurus FPI Purwakarta sendiri tidak mempermasalahkan penolakan dari warga setempat – itu hak setiap individu untuk berpendapat, ujarnya. Namun tidak berarti Ia setuju dengan penolakan tersebut. Sebagai warga negara yang dilindungi undang-undang, maka pihaknya berhak mendatangkan Habib Riziek Shihab untuk berdakwah, karena umat Islam Purwakarta menanti kehadiran beliau, tambahnya. Dan FPI Purwakarta telah mempersiapkan alternatif tempat untuk kegiatan dakwah tersebut.

Seperti menyulut api dalam sekam, tak butuh waktu lama hingga konflik antara FPI Purwakarta dengan warga Purwakarta terjadi. Warga Purwakarta yang sudah menegaskan penolakannya pun kemudia menghadang rombongan FPI. Tak ayal, bentrokkan pun terjadi hingga beberapa orang terluka. Menurut saksi mata, anggota dari FPI lah yang memulai pertikaian. Kejadian ini seolah menjadi buntut panjang yang bermula dari berbagai tindakan nyeleneh Bupati Purwakarta hingga ucapan Pendiri FPI yang tidak elok didengar.

Ditambah dengan pernyataan Ketua Majelis Taklim Manhaj Sholihin Purwakarta, Syahid Djoban bahwasanya Kabupaten Purwakarta darurat akidah. Hal ini sontak menimbulkan berbagai reaksi dari masyarakat Purwakarta yang tidak terima atas tuduhan dan spekulasi ‘dangkal’ dari Syahid Djoban.

Kejadian yang diawali kebijakan serta perilaku stakeholder Purwakarta yang kemudian diikuti dengan kritikan pedas dari sebuah kelompok civil society membawa imbas terhadap masyarakat suku Sunda pada umumnya, dan Warga Purwakarta khususnya. Kondisi mayoritas Warga Purwakarta pun ‘mudah’ terprovokasi, tingkat kepekaan akan lingkungan politik serta kurang kritis membuat mereka mudah terjerembap dalam berbagai kepentingan sang elite politik.

Konflik yang terjadi di Purwakarta ini bukanlah antar agama, suku, maupun ras. Konflik yang terjadi seolah-olah menempatkan agama vs adat istiadat – yang keduanya sudah tentu tidak sepatutnya diperdebatkan, karena Agama merupakan kebenaran yang berasal dari Tuhan, sedangkan adat istiadat merupakan warisan turun temurun. Agama Islam dan Budaya Sunda merupakan mayoritas di Purwakarta, yang seyogianya dapat berdampingan tanpa menimbulkan gesekan horizontal.

FPI dan AMS yang merupakan bagian dari civil society seolah bersitegang dan menampakkan dua sisi mata uang yang berbeda. FPI yang bersikeras menentang Bupati Purwakarta atas penistaan agama dan bahkan menyatakan bahwa Purwakarta darurat akidah, dan AMS yang menuntut permohonan maaf dari Pendiri FPI yang telah secara sengaja mengubah sampurasun menjadi campur racun mewarnai warga Purwakarta yang juga terbelah dalam berbagai kubu dan posisi.

Civil society merupakan agen terpenting dalam demokrasi sekaligus harapan terbesar dalam menghidupkan demokrasi. Namun dari berbagai pengertian mengenai civil society yang begitu ‘diagung-agungkan’, sebenarnya civil society sendiri memiliki dua wajah yang berbeda. Good civil society dan bad civil society. Good civil society berperan sebagai asosiasi sosial yang menjunjung tinggi nilai otonomi, kesukarelaan, persamaan hak, dan civility (kepatuhan terhadap hukum dan aturan main), juga sebagai penyambung lidah antara pemerintah dan rakyat. Sedangkan bad civil society merupakan asosiasi yang mengedepankan hegemoni kelompok di atas yang lain dan perebutan kekuasaan dengan cara kekerasan (Hadiwinata, 2005).

Kelompok-kelompok yang mengusung ideologi majoritarianism (mayoritarianisme) yang berpandangan eksklusif, menolak pluralitas, dan cenderung menciptakan hegemoni bagi kelompoknya menjadi ancaman yang cukup serius dalam keutuhan dan persatuan – merupakan kelompok yang termasuk ke dalam bad civil society (Hadiwinata, 2005). Namun tak dapat dipungkiri, eksistensi serta konsistensi kelompok-kelompok ini dalam menyuarakan kepentingannya justru terasa lebih “demokratis” dalam artian benar-benar mewakili kepentingan setiap anggotanya – bukan kepentingan pribadi maupun stakeholders.

Dalam konflik yang terjadi di Kabupaten Purwakarta sendiri tidaklah dapat dijustifikasikan secara objektif siapa yang merupakan bagian dari bad civil society maupun good civil society. Karena pada akhirnya, kedua belah pihak – ormas dan warga setempat pun menggunakan kekerasan dalam menyuarakan kepentingannya. Namun hal yang disayangkan adalah keterlibatan beberapa ormas dan warga setempat dalam konflik yang bersifat horizontal ini. Karena konflik ini semula bersarang dari para petinggi yang kemudian menjalar hebat hingga rakyat luas. Sehingga tidak dapat menutup kemungkinan atas dasar konflik yang terjadi di Purwakarta ini akan muncul pihak-pihak yang ingin memanfaatkan keadaan dan menimbulkan perpecahan antara kaum pemuka agama dengan pemuka budaya.

Dalam demokrasi yang berkembang di Indonesia, bukan hanya lembaga-lembaga politik yang patut diwaspadai actionnya yang bisa saja merusak demokrasi itu sendiri, namun juga civil society yang digadang-gadang merupakan aktor terpenting dalam demokratisasi. Indonesia yang plural multidimensional menghadapi tantangan terbesarnya dengan civil society sebagai aktor utama, yang mendukung demokrasi, atau justru merusak demokrasi.

Disinilah pentingnya tingkat kepekaan dan daya kritis masyarakat yang tinggi, sehingga hal-hal yang sekiranya akan merusak keutuhan dan demokrasi dapat teratasi dengan apik. Berbagai kelompok dalam civil society pun diharapkan menjadi sebuah kelompok yang netral dengan pemahaman good civil society. Sehingga pergesekan horizontal yang terjadi di Purwakarta, yang berawal dari ‘Asalamualaikum’ dan ‘Sampurasun’ tidak akan terulang kembali.

“Di negeriku budi pekerti mulia di dalam kitab masih ada,

tapi dalam kehidupan sehari-hari bagai jarum hilang menyelam

di tumpukan jerami selepas menuai padi.” (Taufik Ismail, 1998)

 

Referensi

Anderson, R. (2015, Desember 19). FPI Bentrok dengan Warga Purwakarta, Satu Korban Terluka. Retrieved Desember 25, 2015, from VIVA NEWS: http://m.news.viva.co.id/news/read/713332-fpi-bentrok-dengan-warga-purwakarta–satu-korban-terluka

Hadiwinata, B. S. (2005). Civil Society: Pembangun dan Sekaligus Perusak Demokrasi. Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 10-11.

Jalaudin, D. (2015, November 26). Bupati Purwakarta Bicara soal Sampurasun dan Kritikan Habib Rizieq. Retrieved Desember 25, 2015, from sindonews.com: http://daerah.sindonews.com/read/1064847/21/bupati-purwakarta-bicara-soal-sampurasun-dan-kritikan-habib-rizieq-1448551825

Putra, E. P. (2015, November 26). Ini Ceramah Lengkap Habib Rizieq Soal Sampurasun Jadi Campur Racun. Retrieved Desember 2015, 2015, from NEWS republika.co.id: http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/15/11/26/nyef6e334-ini-ceramah-lengkap-habib-rizieq-soal-sampurasun-jadi-campur-racun

Siswoyo, H. (2015, Desember 17). Habib Rizieq Ditolak ke Purwakarta, Ini Reaksi FPI. Retrieved Desember 25, 2015, from VIVA NEWS : http://m.news.viva.co.id/news/read/712608-habib-rizieq-ditolak-ke-purwakarta–ini-reaksi-fpi?utm_source=dlvr.it&utm_medium=facebook

Sutisna, N. (2015, Desember 16). Lagi, Pentolan FPI Dituduh Lecehkan Warga Purwakarta. Retrieved Desember 25, 2015, from tempo.co Nasional: http://nasional.tempo.co/read/news/2015/12/16/058728284/lagi-pentolan-fpi-dituduh-lecehkan-warga-purwakarta

 

 

Tinggalkan komentar